Pilu By Adelina Rizki


Pilu

            Aku terbangun dari tidurku, kulihat seseorang membuka pintu masuk ruangan. Oh, ternyata itu Dokter Han, ia dokter rumah sakit yang beberapa ahad ini merawatku di rumah sakit. Ia tersenyum kepadaku seraya menyampaikan “Bagaimana tidurmu? Kau terganggu dengan datangnya aku?”.
Aku dengan sedikit pusing mencoba untuk bangkit menyandarkan badanku pada daerah tidurku. Dokter Han pun membantuku. Ia mengeluarkan alat suntik dari saku bajunya, suntikan yang biasanya ia berikan padaku setiap  hari.  “Sudah usang kau bangkit nak?” Ibuku tiba membawa beberapa buah ditangan kirinya dan tangan kananya membawa baju bersih, kurasa ia gres saja pulang kerumah.
“Tidak kok ,Bu, saya terbangun ketika Dokter Han datang”.
“Makan pagimu niscaya akan tiba sebentar lagi, saya akan kembali lagi sehabis kau makan ya.” Dokter Han berkata sambil mengusap rambutku.
“Iya terima kasih ya dok” kata ibuku. Dokter Han pergi meninggalkan ruanganku. Ibuku dengan baju putih berkulot biru di padu kerudung bunga-bunga warna biru denim terlihat sangat manis pagi ini. Beliau lah yang beberapa ahad belakangan ini merawatku seorang diri, dia yang memegang tanggung  jawab kedua anaknya sehabis ayahku meninggal 1 tahun silam. Ibuku membereskan baju yang tadi ia bawa sembari sesekali menoleh kearahku dan tersenyum manis.
Aku pun memulai pembicaraan dengannya,“Ibu bagaimana kau begitu sabar merawatku padahal saya saja lelah menjalankan ini?”. Ibuku tersenyum mendengarnya, ia meletakan baju yang sedang ia kemasi dan berjalan kearahku.
“Wilona putri ibu, bagaimana ibu tidak sabar merawatmu. Engkau putri ibu yang paling cantik, hanya kau kini yang menemani ibu. Kakakmu kan bekerja jauh merantau dikota orang meneruskan perjuangan ayahmu. Kamu tau kan kau harus kuat kau harus sehat kembali biar kita sanggup pulang dan memasak kuliner bersama lagi menyerupai yang sering ibu dan kau lakukan setiap Minggu.”
Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. “Aku tak sanggup berjanji pada ibu, tapi saya akan selalu berusaha untuk bertahan. Bertahan dari sakit yang terus saya rasakan, bertahan untuk terus menjaga nafasku dan bertahan untuk menjaga nyawa yang masih Tuhan berikan padaku ibu.” Ibu mencoba tegar didepanku dengan menahan tidak meneteskan air mata, lantaran ibuku tau saya akan terbebani oleh air mata yang dijatuhkannya.
“Anakku, tidurlah jangan berfikir terlalu berat, itu akan berpengaruh pada kesehatanmu, berbaringlan nak.” Ibu menghentikan pembicaraan yang menurutku sangat dalam padanya. Ia menyelimutiku dan kembali membereskan pakaianku. Aku menatap ternit ruanganku seraya memikirkan bagaimana jikalau saya tertidur dan tidak sanggup terbangun lagi. Padahal masih banyak mimpi yang belum saya capai. Di salah satu mimpiku saya sangat ingin mewujudkan keinginan sobat dekatku yang sudah dahulu meninggalkanku, ia sudah hening di surga. Satu hari sebelum kematianya, ia berkata padaku “Jika saja saya mampu melihat awan, awan itu berada dibawahku dan saya berada diatas awan niscaya itu akan sangat indah dan menjadi kenangan terbaik selama hidupku.” Saat itu saya merasa asing kenapa ia tiba-tiba ingin pergi melihat awan padahal setiap hari ia selalu melihat awan. Sehari sehabis itu ketika saya sedang menata buku untuk dibawa kesekolah esok pagi, saya mendapat telfon dari ibu Narendra, temanku. Ibunya memberikan bahwa Narendra kecelakan dan nyawanya tidak sanggup ditolong lagi. Aku kaget saya tertegun, saya bisu, tidak tau apa yang harus saya lakukan. Aku tidak menyangka secepat itu Narenda meninggalkanku, dan tidak menerka kemarin itu ialah pertemuan terakhir saya dengan Narendra. Dan semenjak ketika itu saya tahu bahwa mimpi terakhir Narenda ialah mendaki gunung. Di hpnya aneka macam kumpulan foto orang orang yang berada dipuncak gunung, kurasa dia mengambil dari foto instagram. “Selamat pagi Wilona.”
Perawat tiba menyadarkanku dari lamunan. Ia membawa hidangan masakan untuku sarapan. Aku tersenyum dan menyampaikan “Selamat pagi kembali suster, apa engkau tidak bosan mengantarkan masakan untuku setiap pagi siang dan malam?”. Perawat tersenyum tipis sambil menata masakan dimeja. “Untuk apa saya bosan? Ini tugasku, tugasku untuk malayanimu dan merawatmu. Tugasmu hanya memakannya dan lekas sembuh biar saya tidak lagi mengantarkanya untukmu.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan perawat yang tidak biasa berbicara manis menyerupai itu.
“Terima kasih ya ,Sus masih setia dengan kami, jangan bosan-bosan
mengantarkan kuliner untuk Wilona yang bandel ini.” Ibuku berkata sambil menghampiriku dan suster Yaruka.
“Dengar kata ibumu Wilona, saya harus tiba lagi nanti untuk mengantarkan kuliner untukmu, bagaimana sanggup saya menolaknya dan tidak bertemu denganmu?” Kami pun semua tertawa mendengan perkataan suster Yaruka. Kurasa ini menjadi salah satu semangat untuku bertahan melawan sakit yang telah kuderita selama 2 tahun belakangan ini. Dan yang menjadi motivasi terbesarku biar saya sanggup mewujudkan mimpi temanku Narendra sebelum saya dipanggil oleh Tuhan. Namun ini tidak akan terwujud jikalau saya tidak mengantongi izin dari ibuku. Tapi tidak mungkin baginya mengizinkanku untuk mendaki, tapi bagaimana sanggup saya melawan ia jikalau ia tetap tidak mengizinkanku.
Selagi bertanya dalam benakku, seseorang tiba membuka pintu. Oh, ternyata temanku Caesar tiba berkunjung dan saya teringat bahwa kini hari Minggu. Karena hanya dihari itu ia tiba mengunjungiku. Ia menyapa ibuku dan ibuku berkata akan pergi ke swalayan untuk membeli beberapa peralatan sabun yang digunakanya ketika dipakai di rumah sakit. Ia menitipkan saya pada Caesar dan meninggalkan kami berdua diruanganku. Seperti biasa Caesar menceritakan apa saja yang terjadi disekolah kepadaku. Aku juga sangat antusias dengan dongeng Caesar lantaran saya sangat merindukan masa sekolah. Maklum lah sudah beberapa Minggu ini saya tidak mengikuti kegiatan berguru mengajar dan pastinya sudah banyak bahan yang tertinggal dan kiprah yang menumpuk. Hufft sangat mengerikan ketika mendengar Caesar menceritakan banyaknya kiprah sekolah.
Aku pun mulai bercerita ihwal Narendra kepada Caesar, lantaran Caesar juga mengenal erat dengan Narendra. Caesar berkata “Sangat tidak mungkin ibumu akan memberi izin untuk itu, lihat kondisimu saja gres membaik dan kau saja belum boleh meninggalkan rumah sakit ini.”
“Bagaimana saya berani mendaki kalau bertanya pada ibuku saja saya takut. Andai saja ibu sudah tahu tanpa saya memberi tahu pasti akan lebih mudah bagiku untuk memulai pembicaraan dengannya.” kataku.
“Sudah lah, kini pikirkan dulu saja dirimu, cepat pulih cepat sembuh biar sanggup keluar dari rumah sakit dan akan memudahkanmu mendapat izin ibumu.” jawab Caesar sambil tersenyum tipis.
Ibuku dan Dokter Han tiba bersamaan disaat saya dan Caesar masih asik saling bercerita. “Wah, kayaknya kau bahagia sekali setiap Caesar tiba mengunjungimu, sudah terlihat sehat kembali, apa yang kalian bicarakan hingga kuliner yang dibawakan suster Yaruka belum habis dimakan?” ucap Dokter Han.
“Kami sedang membicarakan kiprah negara ,Bu Dokter, ini sangat penting dan rahasia.” cetus Caesar dengan nada bercanda. Ibuku menyambung “Rupanya anak ibu sudah tumbuh cukup umur ya hingga memikirkan kiprah negara hehe.”
“Berbaringlah, saya akan menyuntikan cairan vitamin dan pencegah virus. Dan ini yang terakhir.”
“Yang terakhir? Maksudnya dok? Biasanya kan 2 kali sehari pagi dan malam.” Aku terheran.
“Apa begitu senangnya kau disuntik olehku Wilona? Ini terakhir lantaran besok kau boleh keluar dari rumah sakit.” Aku kaget, begitupun Caesar. Ibu hanya tersenyum lebar bertanda ibu sudah mengetahui sebelumnya.
“Wah berarti saya tidak akan bertemu dokter Han dan suster Yaruka lagi nih?” dengan nada bercanda.
“Kata siapa? Kamu harus mengunjungiku setiap hari Minggu.”kata dokter Han menggodaku, berkunjung disini maksudnya check up.
Aku pun terlelap setelahnya. Tak sanggup mencicipi apapun. Efek dari obat yang diberikan dokter Han sepertinya. Entah kenapa saya merasa tidur sangat usang dan ketika terbangun ibuku sudah berada disampingku. Ia berbeda. Beda ketika melihatku. Ia melihat dengan muka kesal. Aku gres setengah sadar dari tidurku, pikiranku belum sepenuhnya utuh.
Ibuku bertanya “Kau sanggup melihatku? Melihatku dengan jelas?” akupun menjawab iya. Aku memberanikan bertanya padanya
“Apa yang menciptakan wajahmu menjadi kesal menyerupai itu ibu?”.
“Tidak ada.” jawab ibu singkat.
“Engkau berbohong ibu, bagaimana sanggup engkau menutupinya dariku.” Ibu yang sedang membereskan barang yang akan dibawa pulang menoleh ke arahku.
“Bagaimana kau mampu mengerti temanmu tapi tidak dengan Ibumu?” jawab ibuku sinis. Aku mampu membaca keadaan, tampaknya Caesar telah memberi tahu ke ibuku ihwal niat mewujudkan mimpi itu. Aku pun termenung. Canggung harus menjawab apa. Ah keadaan macam apa ini, jikalau saya menjawab akan melukai hati ibu apa baik jikalau saya hanya diam? Tapi mimpi itu bagaimana? Untung saja Caesar dan supir mobilnya tiba untuk menjemputku dan mengantarkanku pulang. Jadi, ada waktu menunda pertanyaan ibu.
Saat diperjalanan, saya tidak berbicara dengan Caesar. Kami bermain mata dan mulut, saling bertanya dan menjawab tentang apa yang dibicarakan ibuku tadi. Rupanya benar, Caesar telah memberi tahu pada ibuku wacana niatan itu. Sesampainya dirumah saya diantar Caesar masuk ke kamarku. Disana saya  berdebat. “Bagaimana kau memberi tahu ibu secepat ini Sar?” tanyaku. “Bukankah kau yang bilang andai saja ibumu sudah tahu tanpa kau memberi tahu niscaya akan lebih praktis bagimu untuk memulai pembicaraan dengannya? Makanya saya berinisiatif baik memulainya dengan ibumu hehe.” jawabnya membuatku semakin bingung. “Oke saya akan menyusun kata-kata supaya ibuku sanggup tersentuh dan mengizinkanku” timpalku. Caesar pulang lantaran sudah malam. Ibuku masuk kamarku sembari membawa nampan yang diatasnya terdapat obat dan air minum. Ibuku membisu tanpa mengucapkan apapun. Ia meletakan nampanya dan beranjak pergi. “Ibu” panggilku. Langkahnya terhenti, ia berbalik badan. “Aku ingin bicara.” duduklah sebentar bu. Ibuku duduk disampingku dan melihatku. Aku memberanikan diri menjelaskan maksud perkataan Caesar. “Ibu tetap tidak mengizinkan, pedulikan dirimu nak. Kamu gres saja keluar dari rumah sakit bagaimana kau ada niat untuk pergi ketempat jauh?” ketusnya. “Aku ingin melihat Narendra bahagia disana bu, dia sobat dekatku. Dari kecil kami selalu bermain bersama. Bagaimana mungkin saya seegois ini kepada mimpi temanku?” Ibu terdiam. Aku tahu yang dipikirkanya. Aku tahu jikalau umurku sudah tidak panjang lagi. Aku tahu pembicaraanya dengan dokter Han sewaktu itu. Aku tahu saya divonis tidak sanggup berumur panjang lagi. Aku tahu semuanya. Oleh lantaran itu mungkin ibu tidak mengizinkanku, itu lantaran aku. Karena saya sudah tidak sanggup ditangani oleh dokter lagi sehingga saya dibawa pulang. Aku tahu itu. Tapi ibu cukup terpelajar menutupinya dariku. Maka dari itu saya ingin sekali mewujudkan mimpi Narenda lantaran saya juga tahu perasaanya ketika memiliki mimpi tapi tidak sanggup raihnya. “Ibu tetap pada pendirian ibu, ibu tidak mengizinkanmu.” “Kenapa? Kenapa saya tidak boleh? Kakak selalu diizinkan oleh ibu kenapa saya tidak? Aku juga ingin menyerupai kakak sanggup pergi ketempat itu semaunya. Ibu selalu mengizinkanya kenapa saya tidak?” jawabku. Ibu terkejut mendengar perkataanku dan ia pergi meninggalkan kamarku. Aku terpukul. Aku tetap pada tekadku. Aku berfikir satu-satunya yang sanggup membantu hanya kakakku. Dia niscaya belum tahu ihwal keadaanku yang asli. Dia sangat sering mendaki gunung sewaktu ia SMA. Aku menghubunginya dan ia berkata akan pulang besok. Aku masih berfikir apakah sikapku pada ibu salah atau benar. Waktu berlalu begitu cepat, dan hari ini tiba. Hari dimana kakakku hingga dirumah. Ia pribadi menemuiku. Aku tidak pribadi membicarakan ihwal itu, saya tahu dia psti kelelahan diperjalanan.  “Wah ditinggal bentar udah tambah gede aja lu, banyak dikasih makan yummy ya dirumah.” ledeknya. Ia tidak tahu ihwal sakitku, ihwal saya dirawat dirumah sakit dan ihwal umurku yang sudah.. ah sudahlah menyedihkan jikalau mengingat ihwal itu. “Iyalah saya kan makan kuliner ibu terus, emang kakak makan mie terus niscaya kangen ya sama kuliner ibu?” jawabku dengan senang. “Iya nih masakin sambel ijo kaya biasanya dong, sambel bikinan lu kan yummy dek.” “Wah pulang pribadi nyuruh-nyuruh seenaknya nih, tapi ada syaratnya ya kan bikin sambel ijo pake resep belakang layar haha.” “Duh kebanyakan minta ya kamu, sepakat apa nih?” jawab kakaku. “Emm, syaratnya saya kasih tau nanti deh, pokonya harus ya kalo saya minta oke?” “Yaudah sana cepet bikinin sambelnya kakak udah laper nih.”
Malamnya saya tiba ke kamar kakak untuk membicarakan soal mendaki yang saya olok-olokan dalam syarat. Kakakku yang nggak tau menau ihwal penyakitku sangat antusias melihat adiknya ingin mendaki. “Wah kayanya ilham bagus tuh, ayuk kapan nih? Lusa apa? Abang juga udah usang nggak mendaki jadi kangen gini.” jawab kakakku sehabis mendengar persyaratan yang saya ajukan. Aku pun menyuruhnya untuk memesan tiket secepatnya, saya juga mengatakan  padanya supaya tidak memberi tahu ibu soal ini. Kakakku tanpa ingin tau tanpa bertanya pribadi menjawab oke. Karena dia bercerita punya seorang pacar, padahal ibu belum mengizinkanya untuk pacaran. Oleh lantaran itu kakakku dan saya sering sekongkol jikalau ada sesuatu yang bekerjasama dengan ibu hehe. Kakakku menepati janjinya, iya sudah memesan tiket untuk berempat, saya kakakku sobat cowoknya dan juga pacarnya. Aku banyak bertanya apa saja yang perlu saya bawa pada pacara kakakku. Karena dia juga sangat berpengalaman dalam mendaki. Aku pun mencari di internet apa saja kemungkinan yang terjadi seseorang berpenyakit sepertiku mendaki. Dan ternyata, aneka macam kemungkinan negatif yang sanggup terjadi. Apapun itu saya tetap akan mewujudkan mimpi temanku. Jika saya tidak sanggup itu akan menjadi beban hingga saya telah tiada.
Paginya, sempurna pukul 5 sore saya pergi bersama kakak dan teman-temanya. Tanpa sepengetahuan ibuku saya pergi bersama kakaku mengendarai kendaraan beroda empat milik sobat kakaku. Ditengah perjalanan saya terus memikirkan apakah saya sanggup untuk menaiki puncak dengan kondisiku yang menyerupai ini. Tak usang pukul 12 malam pun kami telah hingga ditempat tujuan. Kami menginap di daerah sobat kakaku. Rencananya kami akan pergi keesokan harinya, kami beristirahat sebentar sambil membereskan barang yang tidak perlu dibawa. Aku tertidur sebentar dan tidak usang kemudian kakaku membangunkanku. Kulihat jam didinding sempurna jam 3 pagi. Hufft sangat sebentar ku melepas penat ini. Karena sudah membereskan barang tadi malam, kami pribadi melaksanakan perjalanan lantaran daerah penginapan sobat kakaku tidak jauh dari tempak pendakian. Sebelum melaksanakan pendakian kami berkumpul dahulu di basecame untuk mendapat pengarahan oleh crew disana. Setelah 15 menit kemudian kami melaksanakan perjalanan mendaki. Aku optimis niscaya bisa. Aku terengah-engah seakan ingin menyerah. Tapi semangat dari kakak dan teman-temanya membuatku ingin cepat sampai. Sesekali saya menghela nafas, inginku kembali dan mengurungkan niatku untuk mendaki tapi kuingat kembali harapan temanku. Aku merasa hela nafasku sudah tak beraturan. Ku ambil obat yang telah saya siapkan jauh-jauh hari. Saat itu, kakakku melihat dan bertanya saya sedang apa? Aku menjawab “Ku ambil permen yang biasa saya makan.” Aduh berat rasanya untuk menyampaikan itu dan berbohong pada kakaku.
Sesekali kakaku menggandengku dan menariku ketika saya sudah tidak kuat lagi. Dia sangat menjagaku. Itu mengakibatkan saya ingin menyampaikan yang bahwasanya padanya. Sudah 2 jam kami melaksanakan perjalanan. Betapa dinginya suhu di ketinggian 3000 mdpl. Aku lelah, sangat lelah. Tanganku mati rasa, tak sanggup mencicipi apapun yang ku sentuh. Melihat itu, kakaku tersenyum dan melihat kearahku. Dia tersenyum lebar sembari memberi isyarat bahwa kita akan sampai. Semangatku tak lagi sebesar tekadku. Tapi sesegera mungkin saya mengumpulkan semangatku. Ternyata benar, saya sanggup mencicipi udara segar dan hangatnya sinar matahari disini. Ternyata juga benar, memang indah melihat awan berada dibawahku. Sesekali awan berada disekelilingku. Tanpa ku ingat kembali betapa khawatirnya ibuku ketika mengetahui kini saya berada disini. Sampai saya lupa bahwa saya tidak baik-baik saja. Dadaku bedetak tak beraturan. Tak sanggup ditahan lagi. Sangat sakit. Aku mengambil obat penghilang rasa sakit itu(lagi). Aku diajak kemana kakaku sering mengunjunginya. Wah, mungkin ini yang menciptakan kakaku ingin kembali kagi disini lagi dan lagi. Aku sanggup melihat 2 gunung yang bersebelahan sangat indah dilihat. Awan yang mengelilinginya dengan indah. Matahari yang seakan muncul dari keduanya. Tanpa kusadari tubuh ini seakan ingin pergi. Kujatuhkan badanku lantaran tidak tahan lagi menahan sakitnya seluruh tubuhku. Pacar kakaku teriak memanggilku. Kulihat kakaku pribadi berlari menghampiriku. Dia sangat cemas. “Kamu kenapa? Bisakah kau bertahan hingga dibawah? Kakak akan membawamu kembali kebawah”. Ku kumpulkan semangat untuk menyampaikan pada kakakku. Kakakku meneteskan air matanya seakan tak percaya dan menyesal telah membawaku kesini tanpa sepengetahuan ibuku. Ku tak sanggup menahan sakitnya lagi. Aku pegang erat tangan kakakku sembari menguatkanya dan kutitipkan salam dan maaf kepada ibuku pada kakakku. “Maafkan saya dari awal tak menyampaikan ini padamu kak, saya tau kau tidak akan membawaku kesini jikalau dari awal kau mengetahuinya. Sampaikan maafku dan sampaikan terimakasihku kepada ibu telah merawatku hingga sejauh ini.” Ku tak terasa tubuhku serasa hilang dan mataku terpejam dengan sendirinya. Melepaskan genggaman kakakku dengan sendirinya dan dengan perlahan. Terimakasih ibu, terimakasih kakak, terimakasih Caesar, dan terimakasih dunia telah mengizinkanku singgah walau hanya sebentar.




Penulis            : Adelina Rizki

Sekolah           : SMK Negeri 1 Kebumen

Kelas               : XII RPL 1

Facebook        : Adelina Rizki


Hak Cipta Penulis



========================================================================

HAPPY READING AND PLEASE SHARE & SUBSCRIBE

========================================================================


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel