Haji Ali Shariati
Download Ebook Haji Ali Shariati
Mengutip sebuah kata pendahuluan buku Dr. Ali Syariati pada halaman pembukaan buku karyanya Hajj (The Pilgrimage) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Pustaka menjadi Haji. Pada hakikatnya, ibadah haji yaitu evolusi insan menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji sanggup dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji yaitu sebuah pertunjukan perihal ‘penciptaan’, ‘sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
Tulisan Dr.Syariati pada pembukaan di atas dan lalu dilanjutkan dengan Ilustarsi yang Rasional. Menurut Syariati, “Allah yaitu Sutradara. Tema yang di ciptakannya ialah tindakan orang-orang yang terlibat, pemain drama utama terdiri dari Adam, Ibrahim, Hajar, dan Setan. Lokasi kejadiaanya ialah Masjid al-Haram, kawasan Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol yang penting yaitu Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make up-nya yaitu ihram, halgh dan taqshir (mencukur sebagian rambut kepala). Dan yang paling terakhir yaitu peran-peran dalam pertunjukkan ini yaitu hanya seseorang, yaitu dirimu sendiri. Dijelaskan pula di dalam ritual ibadah haji semua bangsa tak peduli SARA yaitu actor penting di dalam Pagelaran ini. Yang dimana kita berperan sebagai. Adam, Ibrahim dan Hajar dalam Konfrontasi antara ‘Allah dengan Setan’.
Haji dalam pemahaman Syariati yaitu sebuah kepulangan Manusia kepada Allah Yang Mutlak.yang dimana tidak mempunyai sebuah keterbatasan dan yang tidak sanggup dipadankan oleh hal apapun. Kepulangan itu sendiri dalam pandanganya yaitu sebuah gerak menuju suatu kesempurnaan, kebaikan, keindahan, pengetahuan, nilai, dan fakta. Dengan melaksanakan suatu perjalanan yang berujung pada keabadian ini, intinya tujuan insan ialah bukan untuk binasa melainkan berkembang dan tujuan ini bukan untuk Allah melainkan untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, kasatmata atau simbolik.
Semua itu pada karenanya lalu mengantarkan sesuatu pada ke-Universalan dengan Nilai-nilai kemanusiaan. Ihram yang dikenakan menurutnya ialah perlambang pola, prefensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak sanggup disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga berdasarkan Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.
Syariati beropini bahwa pembedaan tersebut sanggup mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga sanggup memberi efek psikologis pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus menggunakan pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Dalam miqat ini, SARA harus dilepaskan tak terkecuali pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan. Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut badan insan saat ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan mencicipi jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan mencicipi kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati.
Selanjutnya, Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Ali syariati secara tersirat memperlihatkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi insan. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi insan yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Bukan malah berhaji dan pulan dengan perilaku yang lebih jelek sebelum berangkat. Dan ini yaitu kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di isu terkini haji, tidak lebih!
Tulisan Dr.Syariati pada pembukaan di atas dan lalu dilanjutkan dengan Ilustarsi yang Rasional. Menurut Syariati, “Allah yaitu Sutradara. Tema yang di ciptakannya ialah tindakan orang-orang yang terlibat, pemain drama utama terdiri dari Adam, Ibrahim, Hajar, dan Setan. Lokasi kejadiaanya ialah Masjid al-Haram, kawasan Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol yang penting yaitu Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make up-nya yaitu ihram, halgh dan taqshir (mencukur sebagian rambut kepala). Dan yang paling terakhir yaitu peran-peran dalam pertunjukkan ini yaitu hanya seseorang, yaitu dirimu sendiri. Dijelaskan pula di dalam ritual ibadah haji semua bangsa tak peduli SARA yaitu actor penting di dalam Pagelaran ini. Yang dimana kita berperan sebagai. Adam, Ibrahim dan Hajar dalam Konfrontasi antara ‘Allah dengan Setan’.
Haji dalam pemahaman Syariati yaitu sebuah kepulangan Manusia kepada Allah Yang Mutlak.yang dimana tidak mempunyai sebuah keterbatasan dan yang tidak sanggup dipadankan oleh hal apapun. Kepulangan itu sendiri dalam pandanganya yaitu sebuah gerak menuju suatu kesempurnaan, kebaikan, keindahan, pengetahuan, nilai, dan fakta. Dengan melaksanakan suatu perjalanan yang berujung pada keabadian ini, intinya tujuan insan ialah bukan untuk binasa melainkan berkembang dan tujuan ini bukan untuk Allah melainkan untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, kasatmata atau simbolik.
Semua itu pada karenanya lalu mengantarkan sesuatu pada ke-Universalan dengan Nilai-nilai kemanusiaan. Ihram yang dikenakan menurutnya ialah perlambang pola, prefensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak sanggup disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga berdasarkan Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.
Syariati beropini bahwa pembedaan tersebut sanggup mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga sanggup memberi efek psikologis pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus menggunakan pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Dalam miqat ini, SARA harus dilepaskan tak terkecuali pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan. Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut badan insan saat ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan mencicipi jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan mencicipi kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati.
Selanjutnya, Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Ali syariati secara tersirat memperlihatkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi insan. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi insan yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Bukan malah berhaji dan pulan dengan perilaku yang lebih jelek sebelum berangkat. Dan ini yaitu kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di isu terkini haji, tidak lebih!