Islam, Pluralisme Toleransi Keagamaan Mohamed Fathi Osman
Download Ebook Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan Mohamed Fathi Osman
DISKURSUS pluralisme di Indonesia semakin menghangat semenjak keluarnya fatwa “kontroversial” Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Pluralisme dalam perpektif MUI ialah paham yang menyamaratakan semua agama dan bersumber dari kebenaran yang relatif. Pemahaman ini bagi MUI bertentangan dengan fatwa Islam dan berpotensi mengancam kepercayaan umat Islam, sehingga harus diharamkan untuk diikuti.
Fatwa MUI tersebut sangat disayangkan, dikarenakan telah menggiring anarkisme dan mendangkalkan pengetahuan umat ihwal pluralisme. Pluralisme seolah menjadi bertentangan dengan fatwa Islam. Padahal bila menengok khazanah keislaman, umat Islam bahwasanya mempunyai prinsip-prinsip moral dan aturan mengenai pluralisme. Dan prinsip-prinsip tersebut telah sukses dieksperimentasikan selama berabad-abad dalam sejarah peradaban Islam. Karena itu mestinya umat Islam era ini, bukan malah menolak pluralisme tapi sedapat mungkin turut berkontribusi dalam membangun pluralisme global. Penegasan itulah yang terekam dalam buku Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan karya Mohamed Fathi Osman, profesor tamu pada Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Wassington DC.
Buku yang diterbitkan dalam rangka memperingati Milad ke-20 Paramadina ini, merangkum gagasan Fathi Osman mengenai pluralisme dan toleransi keagamaan. Pluralisme bagi Fathi Osman ialah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu dan dunia secara keseluruhan. (h.2) Hal ini mengandaikan tersedianya perangkat aturan yang menjamin kesetaraan setiap individu. Kemudian setiap individu harus saling memahami dan berhubungan untuk mencapai kebaikan bersama. Dalam konteks ini, apa yang diungkapkan Fathi Osman paralel dengan pemahaman Cak Nur bahwa pluralisme bukan sekadar kebaikan negatif (negative good) untuk membendung fanatisme tapi harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of doversities within the bonds of civility).