Gayle Forman - If I Stay
|
Gayle Forman - If I Stay |
SEMUA orang menerka penyebabnya salju. Dan di satu sisi, kurasa itu benar.
Aku terbangun pagi ini, melihat selimut putih tipis menyelubungi pekarangan depan kami.
Tebalnya bahkan tidak hingga dua senti, tapi turun salju sedikit saja di potongan Oregon ini
membuat segalanya berhenti bergerak sementara satu-satunya mesin pengeruk salju
di county sibuk membersihkan jalan. Yang turun dari langit air basah—menetes-netes—bukan
jenis yang beku.
Salju ini cukup untuk meliburkan sekolah. Adik laki-lakiku, Teddy, meneriakkan ajakan perang
ketika radio AM Mom mengumumkan penutupan sekolah. “Hari salju!” beliau berteriak. “Dad, ayo
kita buat orang-orangan salju.”
Ayahku tersenyum dan mengetuk pipa. Akhir-akhir ini beliau mulai mengisap pipa sebagai bagian
kebiasaan barunya, menggandakan serial komedi Father Knows Best ala tahun lima puluhan. Dia juga
mengenakan dasi kupu-kupu. Aku tidak tahu apakah semua ini alasannya yaitu beliau ingin bergaya atau
bersikap sinis—cara Dad menyampaikan bahwa dulu beliau suka mengerjai orang tapi sekarang
menjadi guru bahasa Inggris SMP, atau menjadi guru benar-benar mengubah gaya ayahku ke
masa kemudian menyerupai ini. Tapi saya suka aroma tembakau dari pipanya. Baunya anggun dan berasap,
mengingatkanku pada ekspresi dominan hambar dan tungku kayu.
“Kau dapat berusaha mati-matian,” Dad memberitahu Teddy. “Tapi saljunya hampir tidak
menempel di jalan. Mungkin sebaiknya kamu mencoba menciptakan ameba salju saja.”
Aku tahu Dad sedang gembira. Salju tidak hingga dua senti artinya semua sekolah di county ini
tutup, termasuk SMU-ku dan Sekolah Menengah Pertama daerah Dad bekerja, maka ini hari libur dadakan baginya
juga. Ibuku, yang bekerja di biro perjalanan di kota, mematikan radio dan menuangkan cangkir
kopi kedua untuk dirinya. “Yah, jikalau kalian semua membolos hari ini, saya juga tidak mau
berangkat kerja. Ini tidak adil.” Dia mengangkat telepon untuk menghubungi kantornya. Ketika
selesai, Mom menatap kami semua. “Apakah sebaiknya saya menciptakan sarapan?”
Dad dan saya terbahak-bahak bersamaan. Mom cuma dapat menciptakan sereal dan roti panggang.
Dad-lah koki di keluarga kami.
Mom akal-akalan tidak mendengar kami, kemudian meraih lemari dapur untuk mengambil sekotak
Bisquick. “Ampun deh. Seberapa sulit sih menciptakan sarapan? Siapa yang mau masakan ringan anggun dadar?”
“Aku mau! Aku mau!” Teddy berteriak. “Boleh pakai potongan cokelat?”
“Kurasa tidak ada salahnya,” jawab Mom.
“Wuu huu!” Teddy memekik, melambai-lambaikan lengan.
“Kau terlalu banyak energi untuk sepagi ini,” saya menggodanya. Aku menoleh pada Mom.
“Mungkin Mom seharusnya tidak membiarkan Teddy minum kopi banyak-banyak.”