Kumpulan Ebook Puisi Populer Gratis Ws Rendra

 Rendra sudah tidak ajaib lagi bagi para pecinta sastra Kumpulan Puisi Terkenal WS Rendra Kumpulan Ebook Puisi Populer Gratis Ws Rendra

Kumpulan Puisi Terkenal WS Rendra - Pada kesempatan kali ini, hiduppuisi akan mengembangkan kumpulan puisi karya WS Rendra, siapa yang tidak tahu sosok WS Rendra. Nama W. S. Rendra sudah tidak ajaib lagi bagi para pecinta sastra. Berbagai puisi cipataanya selalu menerima sambutan hangat dari para sastrawan. Karyanya bukan hanya puisi saja, ia juga menulis skenario drama, cerpen dan esai sastra. Nah, Sebelum kita membahas karya-karya puisi dari W. S. Rendra berikut profil W.S. Rendra.

W.S. Rendra yang mempunyai nama orisinil Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) ialah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, beliau menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di banyak sekali media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi tinggi itu pulalah beliau mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di dingklik SMP. Saat itu ia sudah mulai mengatakan kemampuannya dengan menulis puisi, kisah pendek, dan drama untuk banyak sekali acara sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi banyak sekali majalah pada ketika itu, menyerupai Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut menyerupai terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.

Kaki Palsu ialah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalanadalah drama pertamanya yang menerima penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada ketika itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat garang untuk berkarya. (WikiPedia: W.S Rendra)

Kumpulan Puisi Terkenal W.S Rendra Lengkap


#1. Tahanan


Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para cowok bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat  di perut gunung
(Para cowok bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama

#2. Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya


Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa bakir balig cukup akal kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya ialah aturan sejarah kehidupan.
Suka murung kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup ialah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki belakang layar langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna kiprah ialah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, renta renta dan kelabu.
Kita ialah kepribadian
dan harga kita ialah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun usang yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman ialah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman ialah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, insan sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih berpengaruh dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972
…BAHWA KITA DITANTANG SERATUS DEWA.


#3. Sajak Tangan



Inilah tangan seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada goresan pena jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan saya keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku saya sodorkan.
Nampak ajaib di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
saya jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok kerikil didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini saya kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

#4. Makna Sebuah Titipan


Sering kali saya berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sebenarnya ini hanyalah titipan
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi,mengapa saya tak pernah bertanya;
Mengapa Dia menitipkan padaku ?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan jika bukan milikku,apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah saya mempunyai hak atas sesuatu yang bukan milikku ?

Mengapa hatiku justru terasa berat,ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut sebagai ujian,kusebut sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan jika itu ialah derita

Ketika saya berdo’a,kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,ingin lebih banyak mobil,lebih banyak popularitas,dan kutolak sakit
Kutolak kemiskinan,seolah semua”derita” ialah eksekusi bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan menyerupai matematika:
Aku rajin beribadah,maka selayaknyalah derita menjauh dariku,dan nikmat dunia kerap menghampiriku

Kuperlakukan Dia sebagai kawan dagang,dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas”perlakuan baikku”
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,hidup dan matiku hanya untuk beribadah
“Ketika langit dan bumi bersatu,bencana dan keberuntungan sama saja”

#5. Gugur


Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima cowok mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan saya pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita ialah kawasan pautan yang sah.
Bumi kita ialah kehormatan.
Bumi kita ialah juwa dari jiwa.
Ia ialah bumi nenek moyang.
Ia ialah bumi waris yang sekarang.
Ia ialah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang renta itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel